Pengertian Administrasi Berbasis Sekolah Berdasarkan Para Hebat


Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) mempunyai sejumlah pengertian, tergantung dari sudut pandang orang yang mengartikannya. Berikut ini diuraikan beberapa pengertian manajemen berbasis sekolah berdasarkan para pakar.

Nurkholis (2003:1) menjelaskan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah terdiri dari tiga kata, yaitu manajemen, berbasis, dan sekolah. Secara umum manajemen sanggup diartikan sebagai proses mengelola sumber daya secara akibattif untuk mencapai tujuan. Ditinjau dari aspek pendidikan, manajemen pendidikan diartikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, baik tujuan jangka pendek, menengah maupun tujuan jangka panjang. Kedua, kata berbasis mempunyai kata dasar basis atau dasar. Ketiga , kata sekolah merujuk pada forum tempat berlangsungnya proses berguru mengajar. Bertolak dari arti ketiga istilah itu, maka Manajemen Berbasis Sekolah sanggup didefinisikan sebagai segala sesuatu yang berkenaan dengan pengelolaan sumber daya yang berdasar pada sekolah itu sendiri dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
 

Seperti halnya Nurkholis, Slamet PH (2001) mendefinisikan MBS dengan bertolak dari kata manajemen, berbasis, dan sekolah. Menurut Slamet, manajemen berarti koordinasi dan penyerasian sumber daya melalui sejumlah input manajemen untuk mencapai tujuan atau untuk memenuhi kebutuhan pelanggan. Berbasis artinya “berdasarkan pada” atau “berkonsentrasikan pada”. Sedangkan sekolah merupakan organisasi terbawah dalam jajaran Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) yang bertugas memdiberikan “bekal kemampuan dasar” kepada penerima didik atas dasar ketentuan-ketentuan yang bersifat legalistik (makro, meso, mikro) dan profesionalistik (kualifikasi, untuk sumber daya manusia).

Wohlsteeter, Priscilla & Mohrman (1996) mengemukakan pengertian manajemen berbasis sekolah sebagai pendekatan politis untuk mendesain ulang organisasi sekolah dengan memdiberikan kewenangan dan kekuasaan kepada par tisipan sekolah di tingkat lokal guna memajukan sekolahnya. Partis ipan lokal itu terdiri atas: kepala sekolah, guru, konselor, pengembang kurikulum, administrator, orang bau tanah siswa, masyarakat sekitar, dan siswa.

Myers dan Stonehill (1993) mendefinisikan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah merupakan taktik untuk memperbaiki pendidikan dengan mentransfer otoritas pengambilan keputusan secara signifikan dari pemerintah pusat dan kawasan ke sekolah-sekolah secara individual. Penerapan MBS memdiberikan kewenangan kepada kepala sekolah, guru, siswa, orang tua, dan masyarakat untuk mempunyai kontrol yang ludang keringh besar dalam proses pendidikan dan memdiberikan mereka tanggung tanggapan untuk mengambil keputusan perihal anggaran, personil, dan kurikulum. Keterlibatan pemangku kepentingan (stakeholder) lokal dalam pengambilan keputusan akan sanggup meningkatkan lingkungan berguru yang akibattif bagi siswa.

Ogawa & Kranz (1990:290) memandang pengertian Manajemen Berbasis Sekolah secara konseptual sebagai perubahan formal dari struktur tata pelayanan pendidikan ( governance) yaitu pada distribusi kewenangan pengambilan keputusan sebagai bentuk desentralisasi yang mengidentifikasi sekolah sebagai unit utama dari peningkatan dan kepercayaan, dan juga sebagai alat utama untuk meningkatkan partisipasi dan dukungan.

Senada dengan pengertian Ogawa & Kranz, Kubick & Katheleen (1988:2) menyatakan bahwa MBS merupakan suatu sistem manajemen di mana sekolah merupakan satuan yang utama dalam pengambilan keputusan bidang pendidikan. Tanggung tanggapan untuk keputusan perihal anggaran, personil, dan kurikulum ditempatkan di tingkatan sekolah dengan memdiberikan kontrol proses pendidikan kepada kepala sekolah, guru, siswa, dan orang tua.

Dalam buku Petunjuk Program MBS, kerjasama Pemerintah Indonesia, UNESCO dan Unicef, dinyatakan bahwa MBS sanggup dipandang sebagai suatu pendekatan pengelolaan sekolah dalam rangka desentralisasi pendidikan yang memdiberikan kewenangan yang ludang keringh luas kepada sekolah untuk mengambil keputusan mengenai pengelolaan sumber daya pendidikan sekolah (manusia, keuangan, material, metode, teknologi, wewenang dan waktu) yang didukung dengan partisipasi yang tinggi dari warg a sekolah, orang tua, dan masyarakat, serta sesuai dengan kerangka kudang keringja kan pendidikan nasional dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan (Direktorat Taman Kanak-kanak & SD, 2005: 6).

Dalam bentuk manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah (MPMBS), MBS sanggup diartikan sebagai model manajemen yang memdiberikan otonomi ludang keringh besar kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan secara pribadi tiruana warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, karyawan, orang bau tanah siswa dan masyar akat) untuk meningkatkan mutu sekolah berdasarkan kudang keringjakan pendidikan nasional (Depdiknas, 2002:5).

Perihal MBS ini, UU No. 20 Tahun 2003 perihal Sistem Pendidikan Nasional, pasal 51, ayat (1) menyatakan, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan baku pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.”

Selanjutnya, klarifikasi pasal 51, ayat (1) menandakan bahwa, “Yang dimaksud dengan manajemen berbasis sekolah/madrasah yakni bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendi dikan, yang dalam hal ini kepala sekolah/ madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah/madrasah dalam mengelola acara pendidikan”.

Otonomi memang berarti pemilikan kewenangan mengatur tiruana dilema secara mandiri. Namun, dalam konteks MBS di Indonesia, pengaplikasiannya masih terikat dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku baik secara nasional, maupun daerah. Artinya otonomi yang dimaksudkan di dalam klarifikasi pasal 51 ayat (1) UU Sisdiknas No. 23 Tahun 2003 merupakan bentuk desentralisasi yang bersifat relatif dan mengacu kepada perundang-undangan dan peraturan yang berlaku baik di tingkat nasional maupun di daerah. Sungguh pun demikian, dengan MBS, tanggung tanggapan sekolah menjadi ludang keringh besar. Sekolah dituntut untuk mengatakan hasil kerjanya sehubungan dengan kewenangan ludang keringh besar yang diperolehnya sebagai bentuk akuntabilitas, baik kepada warga sekolah maupun pemerintah.

Selanjutnya, kiprah komite sekolah yang dalam hal ini merupakan refleksi dari pemangku kepentingan pendidikan kepentingan (orang tua, masyarakat, pengguna lulusan, guru-kepala sekolah, dan penyelenggara pendidikan) terlibat baik secara pribadi maupun tidak pribadi di dalam pengelolaan pendidikan di sekolah. Artinya, dengan MBS tujuan pendidikan yang dibutuhkan oleh pemangku sanggup dipenuhi. 


Sekian klarifikasi pengertian manajemen berbasis sekolah berdasarkan para pakar. Semoga para pembaca sanggup memahami secara utuh dan mendefinisikan dengan bahasa masing-masing.

Belum ada Komentar untuk "Pengertian Administrasi Berbasis Sekolah Berdasarkan Para Hebat"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel